Label

  • : (1)

Selasa, 07 Juni 2011

SANG FAJAR YANG HILANG

SANG FAJAR YANG HILANG
oleh : M. Abdullah Faqih

           Kawan lihalah tangan ini yang sangat rindu dengan gelora persatuan dan berapa lama lagi tubuh ini akan menanti akan belai keharmonisan dengan alam, betapa angkuhnya dia yang mengangap  kita hanyalah robot yang sudah tak pantas berbicara. bicaranya kita hanyalah kuman-kuman yang bakal mencemari bajunya. Sungguh ironis nasib kita yang hanya dianggap sebagai robot yang harus patuh akan kebijakan-kebijakannya.
            Kemana telinga kawan  yang hanya bisa diam ketika mendengarkan jeritan-jeritan manusia yang diregut dan ditindas para anjing, padahal hak itu diberikan oleh sang ilahi secara geratis.  Terlalu banyak jeritan dan tangisan akan ketidakberdayaan, membuat para anjing bisa tertidur pulas disiang hari dan jeritan dan tangisan itu dianggap sebagai musik pengantar tidur.
            Tanpa  disadari telah terbentuknya singgah sanah atau istanah yang megah, yang dibangun mengunakan tulang-tulang kita dan darah sebagai penguat bangunan itu, bangakai-bangkai manusia sebagai santapan menu terfavorit disingah sana. Setiap sudut-sudut ruang tercium aroma bau yang khas atau parfum yang tak akan kalian dapatkan diperusahan manapun karana aromanya khas darah manusia atau amis.
             Kini Yang ada hanyalah kosong, kosong yang membuat manusia hidup dalam kenistaan, kosong akan keberanian, kejujuran dan persatuaan.  Mungkin keadaan seperti itu yang membuat kita idiot dan seperti dinina bobok, namun realitanya yang ada hanyalah  bergelut dengan apem, sehingga kita telah lupa bahwa kita itu kosong. Yang  membuat kita terjebak akan sebuah   pilihan, mati atau  diam atas sistem yang merantai kita.
            Tatapan mata yang sayu kita membuat dia lebih bergairah lagi untuk menyebarkan ayat-ayat kebohongan pada kaum marhen, setiap sinar yang akan menerobos kecelah-celah sistem, dia tolak dengan lantang dan mata yang beringas. Kina matahari pun iku sayu dinegeri ini sebuah keterpaksaan dan kepasrahan telah mengerogoti relung-relung jantung keberaniaan kita.
            Nasib yang baik tidak lahirkan atau mati mudah diusianya, kalimat itu aku meminjam dari seseorang yang punya keberanai untuk menentang atas kejamnya suatu penindasaan, dimatanya tak pernah ada rasa takut sedikitpun, diapun tak pernah ingindikasihiani oleh anjing-anjing yang berakal.
            Betapa beraninya seseorang itu tak peranah takut pada anjing dan dimatanya tak ada sedikitpun rasa akan putus asa atau kekosongan. Tersadar akan keberanian seseorang itu, terasa menjadi cambuk bagi jantung ini untuk berpacu lagi yang sempat kehilangan ritme untuk berdetak kembali dan birahi itu bangkit kembali diri sekujur untuk mengatakan REVOLUSI ATAU DIAM.

Surabaya, 14 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar